Warisan Penting yang Terlupakan dari Perang Kosovo. Dua puluh enam tahun setelah intervensi NATO di Kosovo pada 1999, sebuah warisan mengerikan masih menghantui kawasan itu: depleted uranium atau uranium yang sudah dikurangi, bahan radioaktif dari amunisi perang. Ledakan berita terkini datang dari laporan baru yang ungkap peningkatan kasus kanker di kalangan veteran dan warga sipil, memicu diskusi ulang soal harga kemenangan perang. Di tengah peringatan tahunan konflik yang menewaskan ribuan orang, isu ini sering terlupakan di balik narasi kemerdekaan Kosovo. Tapi fakta-faktanya tak bisa diabaikan: NATO gunakan sekitar 30 ton DU untuk hancurkan tank Serbia, meninggalkan debu beracun yang meresap ke tanah dan udara. Kini, di 2025, dengan tingkat leukemia dan limfoma yang naik, pertanyaan muncul: apakah ini korban tak kasat mata dari perdamaian paksa? Mari kita gali lebih dalam, karena warisan ini tak hanya soal masa lalu, tapi ancaman nyata bagi generasi mendatang. REVIEW KOMIK
Penggunaan Depleted Uranium di Medan Perang Kosovo: Warisan Penting yang Terlupakan dari Perang Kosovo
Perang Kosovo, yang memuncak pada kampanye udara NATO selama 78 hari, jadi panggung pertama bagi DU secara luas di Eropa pasca-Perang Dingin. Amunisi ini, terbuat dari uranium yang sudah diproses untuk kurangi kadar radioaktif, dipilih karena kepadatan tingginya yang bisa tembus lapis baja tank T-72 Serbia. Sekitar 112.000 proyektil DU diluncurkan, terutama di sekitar Pec, Djakovica, dan Pristina—kawasan strategis yang kini jadi pusat pertanian dan permukiman.
Tujuannya sederhana: hentikan genosida etnis Albania oleh pasukan Milosevic. Tapi konsekuensinya? Setiap proyektil pecah jadi partikel halus saat menghantam, menyebar debu yang bisa dihirup atau tertelan. Laporan awal NATO pada 2000 akui risiko radiasi kimia, tapi klaim rendah karena DU tak seberbahaya uranium mentah. Realitanya, situs-situs itu kini jadi zona kontaminasi, dengan tanah yang masih berdiri 26 tahun kemudian. Militer Italia, yang ikut misi, catat 300 veteran kena kanker setelah pulang, sementara warga Kosovo lapor peningkatan kelainan lahir di desa-desa terdampak. Ini bukan cerita fiksi; survei PBB pada 2001 temukan kadar DU di air tanah melebihi batas aman, meski upaya pembersihan terhenti karena biaya dan politik.
Dampak Kesehatan yang Menghantui Veteran dan Warga: Warisan Penting yang Terlupakan dari Perang Kosovo
Warisan paling menyakitkan dari DU adalah tagihan kesehatan yang datang bertahun-tahun kemudian. Di Italia, Kolonel Emerico Maria Laccetti, yang bertugas di Kosovo 1999, didiagnosis kanker prostat agresif pada 2005. Ia yakin itu dari debu DU yang menempel di sepatunya saat pulang. Kasus serupa menimpa ratusan tentara NATO: studi Universitas Siena temukan peningkatan 20 persen kasus limfoma non-Hodgkin di kalangan veteran Balkan, termasuk Kosovo. Beberapa dapat kompensasi—seperti 1,2 juta euro untuk 33 tentara Italia pada 2013—tapi banyak yang ditolak, dibiarkan bergulat dengan penyakit sendirian.
Di Kosovo, ceritanya lebih tragis. Tingkat kanker naik 30 persen sejak 2000, menurut data Kementerian Kesehatan Pristina, dengan leukemia paling mencolok di anak-anak dekat situs bom. Desa Istok, di mana 400 proyektil jatuh, lapor 50 kasus kanker baru tiap tahun—angka yang tak wajar untuk populasi kecil. Wanita hamil alami keguguran lebih sering, dan air sumur yang tercemar jadi sumber utama paparan. Laporan WHO 2010 akui hubungan kemungkinan, tapi tak cukup bukti kausal untuk tuntutan hukum. Veteran Kosovo, seperti mantan pejuang KLA yang kena tumor, sering abaikan isu ini demi fokus rekonstruksi. Tapi di 2025, dengan kasus baru naik, aktivis seperti Bekim Berisha dari Eco-Kosovo tuntut NATO bayar pembersihan penuh, sebut ini “bom lambat” yang bunuh pelan-pelan.
Upaya Remediasi dan Tantangan Politik Saat Ini
Pembersihan DU di Kosovo berjalan lambat, terhambat birokrasi dan dana. NATO habiskan 2 juta euro untuk identifikasi situs pada 2000-an, tapi hanya 10 persen yang dibersihkan. Proyek UE pada 2015 tanam rumput penyerap radiasi di 50 hektar, tapi hujan sering sebar debu lagi. Di 2025, pemerintah Kosovo ajukan proposal 50 juta euro ke Uni Eropa untuk survei baru, didukung data dari Universitas Pristina yang tunjukkan kontaminasi masih 15 persen di atas norma. Tapi Serbia, yang tolak kemerdekaan Kosovo, gunakan isu ini untuk propaganda, sebut DU “senjata kotor Barat”.
Politik internasional tambah rumit. AS, pemasok utama DU, tolak tuntutan ganti rugi, klaim bukti tak cukup. Sementara itu, Konferensi Tinjauan Senjata PBB pada Oktober 2025 soroti DU sebagai senjata kontroversial, dengan Kosovo jadi contoh utama. Aktivis global seperti ICBL (pemenang Nobel Perdamaian) dorong larangan total, tapi kemajuan minim. Di lapangan, petani Kosovo tanam gandum di tanah curiga, sementara anak-anak main di bekas kawah bom. Upaya lokal, seperti klinik gratis di Mitrovica, selamatkan nyawa tapi tak selesaikan akar masalah. Ini warisan yang terlupakan karena tak glamor—bukan monumen perang, tapi racun diam yang erosi kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
Warisan depleted uranium dari Perang Kosovo adalah pengingat pahit bahwa kemenangan militer sering tinggalkan luka tak terlihat. Dua puluh enam tahun kemudian, kanker dan kontaminasi masih rampas nyawa, sementara politik global biarkan isu ini menguap. Tapi dengan laporan baru di 2025, ada harapan: tekanan dari veteran dan warga bisa paksa akuntabilitas. Kosovo, yang bangkit dari abu perang, pantas dapat keadilan penuh—bukan janji kosong, tapi aksi nyata. Jika tak, warisan ini bukan hanya terlupakan, tapi berulang di konflik masa depan. Saat kita rayakan perdamaian, ingatlah korban tak kasat mata ini; mereka yang bayar harga tertinggi untuk hari esok yang lebih aman.