Presiden Kamerun Ini Melakukan Nyapres Untuk Periode Ke-8. Pagi 8 Oktober 2025, hanya empat hari menjelang pemilu presiden Kamerun, Paul Biya—presiden berusia 92 tahun yang sudah memimpin selama 42 tahun—kembali jadi sorotan dengan langkah nyapres untuk periode ke-8. Pengumuman resminya di Juli lalu, diikuti rally kampanye pertama kemarin di Yaoundé, tunjukkan tekadnya pertahankan kursi kekuasaan hingga usia hampir 100 tahun. Biya, yang pegang rekor presiden tertua di dunia, janji lanjutkan stabilitas dan pembangunan, tapi langkah ini picu gelombang kritik dari oposisi dan pemuda yang frustrasi. Dengan pemilu 12 Oktober mendekat, Kamerun berdiri di persimpangan: perpanjangan dinasti atau dorongan perubahan? Di tengah ketegangan Anglophone crisis dan isu ekonomi, nyapres Biya ini bukan sekadar formalitas, tapi taruhan besar bagi masa depan negara Afrika Tengah ini. Mari kita kupas lebih dalam. MAKNA LAGU
Latar Belakang Kepemimpinan: Dari 1982 Hingga Dinasti Panjang: Presiden Kamerun Ini Melakukan Nyapres Untuk Periode Ke-8
Paul Biya naik tahta pada 1982 setelah purnawirawan pendahuku Ahmadou Ahidjo, dan sejak itu, ia ubah Kamerun jadi benteng kekuasaannya yang tak tergoyahkan. Periode pertama hingga ketujuhnya penuh gejolak: dari kudeta gagal 1984 yang perkuat kontrolnya, hingga liberalisasi ekonomi 1990-an yang bawa pertumbuhan tapi juga korupsi endemik. Biya menang pemilu 2018 dengan 71% suara, meski tuduhan kecurangan merajalela, dan kini, di usia 92, ia tetap jadi simbol stabilitas di kawasan rawan konflik.
Selama empat dekade, Biya fokus bangun infrastruktur seperti jalan tol dan bendungan, tapi kritik bilang ini cuma polesan luar sementara kemiskinan sentuh 40% rakyat. Anglophone crisis sejak 2016, yang tewaskan ribuan dan geser ratusan ribu orang, jadi noda terbesar: Biya tuduh pisahkan wilayah berbahasa Inggris sebagai pengkhianatan, tapi solusinya minim. Nyapres ke-8 ini lanjutkan pola: konstitusi 2008 hilangkan batas periode, buka jalan baginya. Bagi pendukung, Biya adalah ayah bangsa yang cegah kekacauan seperti di tetangga; bagi kritikus, ia diktator yang tahan perubahan. Di 2025, dengan PDB tumbuh 4% tapi inflasi naik, latar ini buat nyapresnya terasa seperti taruhan aman tapi berisiko.
Pengumuman Nyapres: Strategi Kampanye yang Hati-hati: Presiden Kamerun Ini Melakukan Nyapres Untuk Periode Ke-8
Biya umumkan nyapres pada 13 Juli 2025 lewat surat resmi ke pemimpin partai penguasa RDPC, bilang ia dengar “seruan rakyat” untuk lanjutkan misi. Langkah ini datang setelah spekulasi panjang soal kesehatan—Biya jarang muncul publik sejak 2022, sering absen ke Swiss untuk perawatan. Rally pertama kemarin di stadion Yaoundé tarik ribuan pendukung, di mana ia pidato singkat soal “Kamerun maju” dan janji atasi krisis energi serta lapangan kerja pemuda. Kampanyenya low-key: tak ada tur nasional melelahkan, tapi fokus media negara dan billboard di kota besar.
Strategi ini cerdas mengingat usianya—ia delegasikan detail ke menteri dan partai, sambil posisikan diri sebagai pemimpin bijak. RDPC, yang kuasai 80% kursi parlemen, sudah mobilisasi basis di pedesaan, di mana 70% pemilih setia padanya. Tapi, di kota, tantangan muncul: pemuda urban, yang 60% pengangguran, lihat nyapres ini sebagai penundaan reformasi. Dengan pemilu pakai sistem pemenang ambil semua, Biya unggul telak—polling internal bilang 60% dukungan—tapi absensi panjangnya bikin rumor pensiun beredar. Intinya, nyapres ini strategi bertahan, bukan revolusi, yang andalkan loyalitas partai daripada karisma pribadi.
Kontroversi dan Respons Oposisi: Suara Protes yang Menggema
Nyapres Biya untuk periode ke-8 langsung picu badai kritik. Oposisi seperti Maurice Kamto dari MRC sebut ini “pemaksaan dinasti” dan desak boikot pemilu, ingatkan pemilu 2018 yang dibatalkan pengadilan atas kecurangan. Kamto, yang klaim menang 2018, kini kumpul koalisi oposisi untuk tuntut transparansi, termasuk pengawas internasional dari Uni Afrika. Pemuda, yang 70% populasi di bawah 30 tahun, frustrasi besar: gerakan #BiyaOut tren di media sosial, tuntut perubahan soal korupsi dan konflik Anglophone yang Biya abaikan.
Internasional juga campur: AS dan Prancis, mitra dagang utama, desak pemilu bebas, sementara PBB khawatir eskalasi kekerasan seperti demo 2018 yang tewaskan puluhan. Di Kamerun, polisi sudah tingkatkan patroli di Yaoundé dan Douala, antisipasi protes. Pendukung Biya balas: tanpa dia, negara bakal chaos seperti Mali atau Sudan. Respons ini tunjukkan polarisasi: nyapres Biya kuatkan basis etnis Beti-nya di selatan, tapi alienasi pemuda dan wilayah barat. Dengan pemilu dekat, ketegangan naik—bisa damai atau bentrokan baru.
Kesimpulan
Nyapres Paul Biya untuk periode ke-8 di Oktober 2025 jadi cerita klasik Kamerun: kestabilan versus stagnasi. Dari latar 42 tahun kepemimpinannya yang campur maju dan mandek, pengumuman hati-hati yang andalkan partai, hingga kontroversi oposisi yang tuntut perubahan, ini momen krusial bagi negara yang lelah konflik. Biya mungkin menang lagi, perpanjang rekornya sebagai pemimpin terlama, tapi biayanya: generasi muda yang makin putus asa dan krisis yang tak tersentuh. Saat pemilih ke TPS 12 Oktober, harapan tipis untuk transisi damai. Kamerun butuh lebih dari satu pria tua di istana—ia butuh visi baru yang inklusif. Apakah ini akhir dinasti, atau babak baru yang sama? Waktu jawab dalam hitungan hari.