Harapan Untuk Reuni Keluarga Korea Terpisah Usai Perang

harapan-untuk-reuni-keluarga-korea-terpisah-usai-perang

Harapan Untuk Reuni Keluarga Korea Terpisah Usai Perang. Di tengah hembusan angin musim gugur yang sejuk, harapan reuni keluarga Korea yang terpisah sejak Perang Korea kembali menyala. Pada 3 Oktober 2025, Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung mendesak Korea Utara untuk mempertimbangkan kelanjutan program reuni, menekankan nilai kemanusiaan di balik pembagian semenanjung yang sudah tujuh dekade lebih. Pernyataan ini datang tepat menjelang libur Chuseok, saat keluarga-keluarga biasanya berkumpul, tapi bagi 36.000 warga Korea Selatan yang terpisah dari saudara di Utara, momen itu hanya kenangan pahit. Lebih dari 20.000 orang pernah bertemu melalui program ini sejak 2000, tapi pandemi dan ketegangan politik hentikan semuanya. Dengan kematian korban pemisahan mendekati 100.000 jiwa, desakan Lee ini bukan sekadar seruan politik, tapi panggilan hati yang menyentuh akar konflik Korea—perang yang pisahkan jutaan nasib tanpa ampun. BERITA TERKINI

Latar Belakang Pemisahan Keluarga Korea: Harapan Untuk Reuni Keluarga Korea Terpisah Usai Perang

Pemisahan keluarga Korea adalah luka terdalam dari Perang Korea 1950-1953, konflik yang tewaskan jutaan orang dan bagi semenanjung menjadi dua dunia berlawanan. Saat gencatan senjata ditandatangani di Panmunjom pada 27 Juli 1953, garis demiliterisasi (DMZ) jadi tembok besi yang pisahkan 10 juta keluarga—sekitar 5 juta dari Korea Selatan dan sisanya dari Utara. Banyak yang terpisah saat lari dari invasi Utara ke Selatan, atau sebaliknya, meninggalkan orang tua, anak, dan saudara tanpa kabar. Hingga kini, sekitar 130.000 warga Korea Selatan di atas 80 tahun masih tunggu reuni, tapi usia dan penyakit buat waktu semakin sempit.

Pemisahan ini bukan cuma fisik, tapi emosional dan budaya. Di Korea Selatan, program pencarian keluarga dimulai sejak 1950-an melalui Kementerian Unifikasi, yang catat data DNA dan cerita lisan untuk cocokkan identitas. Di Utara, propaganda negara buat cerita berbeda, tapi banyak warga diam-diam simpan foto lama atau surat yang tak pernah terkirim. Dampaknya terasa hingga generasi ketiga: anak cucu yang lahir tanpa tahu kakek-nenek mereka, tapi warisi rasa rindu yang tak terucap. Perang dingin yang panjang, ditambah sanksi internasional, buat reuni jadi simbol rekonsiliasi yang sulit diraih, tapi tetap jadi harapan abadi bagi kedua sisi.

Upaya Reuni yang Pernah Berhasil: Harapan Untuk Reuni Keluarga Korea Terpisah Usai Perang

Upaya reuni keluarga Korea dimulai secara resmi pada 1985 melalui dialog antar-pemerintah, tapi program terstruktur baru lahir pada 2000 melalui Kesepakatan 6.15. Sejak itu, 21 ronde reuni digelar, kebanyakan di Gunung Kumgang di Utara, di mana keluarga bertemu selama 3-5 hari dengan pengawasan ketat. Pada 2018, puncaknya terjadi saat KTT Trump-Kim Jong-un buka pintu untuk 89 keluarga Korea Selatan bertemu 89 dari Utara—momen haru yang disiarkan TV, penuh pelukan dan air mata setelah 65 tahun. Total, lebih dari 20.000 orang pernah rasakan kehangatan itu, dengan cerita seperti seorang ibu berusia 99 tahun bertemu putranya yang hilang sejak remaja.

Program ini tak lepas dari dukungan internasional: PBB dan Palang Merah fasilitasi verifikasi identitas melalui surat dan foto. Di Korea Selatan, undian dipakai untuk pilih peserta karena permintaan melebihi kuota. Meski singkat, reuni ini ciptakan dampak besar: banyak peserta sembuh dari depresi pasca-bertemu, dan cerita mereka jadi jembatan untuk dialog politik. Tapi pandemi COVID-19 hentikan semuanya sejak 2019, dan pada Februari 2025, Korea Utara robohkan fasilitas reuni di Gunung Kumgang—langkah yang dilihat sebagai kemunduran besar, meski Seoul tetap jaga saluran komunikasi melalui hotline militer.

Harapan Terkini dan Tantangan yang Menanti

Desakan Presiden Lee pada awal Oktober 2025 datang di momen pas: Chuseok ingatkan nilai keluarga, dan kematian korban pemisahan capai 100.000 sejak 1953, dengan 1.500 meninggal hanya tahun ini. Lee sebut reuni sebagai “tindakan kemanusiaan murni”, terpisah dari isu nuklir atau sanksi, dan usul format baru seperti video call jika pertemuan fisik sulit. Pada Januari 2025, Menteri Unifikasi Korea Selatan juga mendesak Pyongyang untuk atur reuni darurat, mengingat usia peserta yang semakin tua. Respons Utara masih dingin, tapi ada sinyal halus: media negara sebut “humanitarian gesture” bisa dibahas jika Selatan hentikan latihan militer bersama AS.

Tantangan tetap berat: ketegangan nuklir, sanksi PBB, dan politik internal. Di Utara, Kim Jong-un prioritaskan ekonomi daripada rekonsiliasi, sementara di Selatan, oposisi kritik Lee atas “kelembutan” terhadap Pyongyang. Tapi harapan ada: survei 2025 tunjuk 80 persen warga Korea Selatan dukung reuni, dan kelompok sipil seperti Korean Families Reunion Association tekan pemerintah untuk saluran tetap terbuka. Teknologi seperti AI verifikasi wajah bisa percepat proses, dan tekanan global dari PBB dorong dialog. Jika terealisasi, reuni ini bisa jadi langkah kecil menuju perdamaian abadi, setidaknya untuk hati yang terluka.

Kesimpulan

Harapan reuni keluarga Korea terpisah usai perang tetap menyala meski diterpa badai politik, seperti desakan Presiden Lee yang baru-baru ini ingatkan dunia akan luka tak sembuh itu. Dari latar pemisahan tragis hingga upaya sukses di masa lalu, dan tantangan terkini yang penuh rintangan, cerita ini tunjukkan ketangguhan semangat manusia. Dengan 36.000 hati yang masih tunggu, reuni bukan mimpi kosong, tapi panggilan untuk empati lintas batas. Bagi Korea, ini kesempatan sembuhkan luka perang—bukan dengan senjata, tapi pelukan. Di semenanjung yang terbelah, harapan ini jadi benang tipis yang jaga agar keluarga tak hilang selamanya.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *