Berhati-hatilah Atas Aksi Provokasi Massa. Pada Jumat malam, 29 Agustus 2025, Jakarta kembali dilanda kerusuhan yang dipicu oleh demonstrasi menentang kebijakan tunjangan DPR. Namun, aksi yang awalnya menuntut keadilan atas kematian seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, berubah menjadi kekacauan dengan munculnya provokasi yang mengarah pada isu SARA, khususnya menyasar komunitas Tionghoa. Insiden ini, yang juga merusak enam halte TransJakarta dan beberapa kantor polisi, menunjukkan betapa berbahayanya provokasi massa jika tidak dikendalikan. Artikel ini akan mengulas bentuk provokasi yang muncul, mengapa aksi demo beralih ke isu SARA, dan pentingnya berhati-hati terhadap provokasi di media sosial. BERITA BOLA
Apa Saja Provokasi Yang Dikeluarkan Oleh Para Massa
Kerusuhan di Jakarta Timur dan sekitarnya pada 29 Agustus 2025 ditandai dengan aksi-aksi provokatif yang memperkeruh situasi. Massa, yang sebagian besar terdiri dari komunitas ojek online dan warga yang marah atas kematian Affan, awalnya menyerang fasilitas umum seperti Polres Metro Jakarta Timur dan halte TransJakarta dengan bom molotov, petasan, dan batu. Namun, provokasi yang lebih berbahaya muncul ketika beberapa individu mulai menyebarkan narasi SARA. Selebaran dan spanduk yang menyerukan kebencian terhadap kelompok Tionghoa muncul di lokasi demo, dengan tuduhan bahwa komunitas ini terlibat dalam kebijakan DPR yang kontroversial. Selain itu, simbol-simbol seperti bendera Jolly Roger dari manga One Piece digunakan oleh kelompok tertentu untuk memanaskan suasana, menciptakan kesan bahwa aksi ini terorganisir untuk tujuan lain. Media sosial juga diramaikan oleh video dan pesan berantai yang menuduh pihak-pihak tertentu, termasuk komunitas Tionghoa, sebagai dalang di balik kebijakan tunjangan DPR, meski tanpa bukti jelas.
Katanya Demo DPR, Kok Malah ke Suku Tionghua
Demonstrasi yang awalnya fokus pada kebijakan tunjangan DPR sebesar Rp50 juta per bulan dan kematian Affan Kurniawan akibat tabrakan dengan kendaraan Brimob, tiba-tiba bergeser ke isu SARA yang menargetkan komunitas Tionghoa. Pergeseran ini diduga dipicu oleh provokator yang memanfaatkan kemarahan massa untuk mengalihkan isu ke konflik etnis. Narasi bahwa pengusaha atau elit Tionghoa mendukung kebijakan DPR disebarkan melalui media sosial dan selebaran, meskipun tidak ada kaitan langsung antara komunitas ini dengan kebijakan tersebut. Sejarah menunjukkan bahwa isu SARA sering dimanfaatkan untuk memperkeruh demonstrasi di Indonesia, seperti kerusuhan Mei 1998. Dalam kasus ini, kemarahan atas ketimpangan ekonomi dan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil menjadi celah bagi provokator untuk mengarahkan kemarahan massa ke kelompok tertentu. Ketidakpuasan terhadap respons polisi, yang dianggap represif dengan penggunaan gas air mata, juga memperburuk situasi, membuat massa rentan terhadap provokasi yang mengalihkan fokus dari isu utama.
Kenapa Kita Harus Berhati-hati Dengan Provokasi di Media Sosial
Media sosial menjadi medan utama penyebaran provokasi selama kerusuhan ini. Video viral kematian Affan memicu solidaritas, tetapi juga dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi kebencian. Akun-akun anonim menyebarkan pesan yang menuduh komunitas Tionghoa atau pihak lain sebagai penyebab masalah, lengkap dengan gambar dan video yang dimanipulasi untuk memicu emosi. Tagar seperti #BubarkanDPR bercampur dengan narasi SARA, menciptakan polarisasi di kalangan netizen. Provokasi di media sosial berbahaya karena cepat menyebar dan sulit diverifikasi, terutama di tengah situasi chaos. Banyak warga yang terpancing tanpa memeriksa kebenaran informasi, sehingga memperparah konflik. Selain itu, provokator sering menggunakan akun anonim atau bot untuk memperkuat narasi mereka, seperti yang terlihat dalam penyebaran tuduhan terhadap kelompok Tionghoa. Berhati-hati berarti memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya, menghindari konten yang memicu kebencian, dan melaporkan akun yang menyebarkan provokasi ke platform atau pihak berwenang.
Kesimpulan: Berhati-hatilah Atas Aksi Provokasi Massa
Kerusuhan di Jakarta pada 29 Agustus 2025 menunjukkan betapa berbahayanya provokasi massa, terutama ketika isu sensitif seperti kematian Affan Kurniawan dan kebijakan DPR dimanipulasi menjadi narasi SARA yang menargetkan komunitas Tionghoa. Aksi seperti pelemparan molotov dan penyebaran selebaran kebencian mencerminkan bagaimana provokator memanfaatkan kemarahan publik untuk tujuan yang merusak. Media sosial, sebagai alat penyebaran provokasi, memperburuk situasi dengan narasi yang tidak terverifikasi. Masyarakat perlu waspada, memverifikasi informasi, dan menolak narasi kebencian agar demonstrasi tidak berujung pada kekacauan. Pemerintah dan aparat keamanan juga harus bertindak cepat untuk menangani provokator dan memastikan keadilan atas kasus Affan, sehingga aspirasi rakyat tersalurkan tanpa merusak harmoni sosial. Mari jaga persatuan dan hindari jebakan provokasi!