TKI di Malaysia Kerja 20 Tahun Tanpa di Digaji. Sebuah kisah pilu datang dari negeri jiran, di mana seorang pekerja migran Indonesia (PMI) bernama Seni (47 tahun) mengaku bekerja sebagai pembantu rumah tangga selama lebih dari 20 tahun tanpa menerima upah sepeser pun. Kasus ini terungkap pada 22 November 2025, setelah polisi Malaysia menangkap sepasang suami-istri majikan bernama Azhar Mat Taib (59 tahun) dan Zuzian Mahmud (59 tahun) di sebuah kondominium di Kuala Lumpur. Selain eksploitasi upah, Seni mengalami penganiayaan berat, termasuk disiram air panas ke mulut dan bagian tubuh lain karena dianggap melanggar aturan kecil seperti menggunakan kecap tanpa izin. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur langsung turun tangan, menyatakan korban dalam kondisi stabil tapi trauma mendalam. “Ini bentuk eksploitasi terburuk yang kami tangani tahun ini,” ujar juru bicara KBRI. Kisah Seni jadi pengingat keras akan kerentanan ribuan PMI di Malaysia, di mana janji gaji layak sering berujung pada perbudakan modern. BERITA TERKINI
Kronologi Eksploitasi yang Berlangsung Lama: TKI di Malaysia Kerja 20 Tahun Tanpa di Digaji
Seni tiba di Malaysia pada 2005 melalui jalur resmi, dijanjikan gaji bulanan 1.200 ringgit (sekitar Rp4,5 juta saat itu) plus tunjangan makan dan tempat tinggal. Namun, sejak hari pertama, majikannya—sepasang suami-istri dari kalangan menengah atas—tak pernah bayar upah. Seni dipaksa bekerja 18 jam sehari: bangun jam 5 pagi untuk bersih-bersih, masak, cuci, dan urus anak, tanpa hari libur. Total, ia klaim bekerja 20 tahun tanpa gaji, hanya diberi makan ala kadarnya dan pakaian bekas. Eskalasi kekerasan mulai 2020: Seni dipukul karena “lambat,” dicubit dada hingga memar, kakinya disiram air panas, dan giginya patah setelah ditendang. Puncaknya 13 November 2025: karena menggunakan kecap tanpa izin, Zuzian siram air panas ke mulut Seni, sebabkan luka bakar derajat dua. Seni kabur ke tetangga dan hubungi hotline KBRI. Polisi tangkap Azhar dan Zuzian pada 22 November atas tuduhan perdagangan manusia dan penganiayaan.
Kondisi Korban dan Penganiayaan Fisik-Psikologis: TKI di Malaysia Kerja 20 Tahun Tanpa di Digaji
Seni kini dirawat di Rumah Sakit Kuala Lumpur dengan luka bakar di mulut, wajah, dan kaki, plus memar kronis di dada dan gigi patah. Dokter sebut pemulihan fisik butuh 4-6 minggu, tapi trauma psikologis lebih parah: korban alami depresi berat dan PTSD, sering terbangun malam karena mimpi buruk. “Saya pikir saya akan mati di sana, tanpa keluarga tahu,” ceritanya ke petugas KBRI. Selama 20 tahun, Seni tak bisa pulang ke Sumatera Barat, tak kirim uang ke anak-anaknya yang kini dewasa, dan paspornya disita majikan. Eksploitasi ini langgar Undang-Undang Anti-Perdagangan Orang Malaysia 2007, yang hukumannya hingga 20 tahun penjara. KBRI berikan bantuan medis dan psikologis, plus pengacara untuk tuntut gaji tertunggak—estimasi 500.000 ringgit (Rp180 miliar) plus kompensasi luka.
Respons Pemerintah dan Komunitas PMI
KBRI evakuasi Seni ke shelter khusus pada 23 November, koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk pulangkan korban beserta keluarga. Menteri KPPPA, Ibu Siti, sebut kasus ini prioritas: “Kami tuntut Malaysia tegas hukum pelaku, dan perkuat perlindungan PMI.” Polisi Malaysia jerat Azhar dan Zuzian dengan Pasal 13(a) Anti-Perdagangan Orang dan Pasal 34 KUHP, dengan dakwaan eksploitasi, kerja paksa, dan luka serius. Komunitas PMI di Kuala Lumpur panik—ratusan bergabung demo damai di depan KBRI, tuntut audit agen penempatan. Serikat buruh Indonesia kecam: “20 tahun tanpa gaji ini perbudakan, bukan kerja.” Data KBRI catat 200 kasus eksploitasi serupa per tahun, mayoritas ART tanpa upah. Pemerintah RI rencana moratorium penempatan ART ke Malaysia jika tak ada perubahan.
Kesimpulan
Kisah Seni, yang kerja 20 tahun tanpa gaji di Malaysia, jadi jeritan bisu ribuan PMI yang hadapi eksploitasi serupa. Dari janji gaji layak jadi perbudakan fisik-mental, kasus ini tuntut aksi tegas bilateral: Malaysia perketat pengawasan majikan, Indonesia benahi agen dan pelatihan. Seni selamat berkat keberaniannya, tapi luka 20 tahun tak hilang semudah itu—ia butuh kompensasi penuh dan pulang aman. Bagi pemerintah, ini momen reformasi: lindungi PMI bukan cuma janji, tapi kewajiban. PMI berjuang untuk keluarga; saatnya negara berjuang untuk mereka.