China Protes ke Australia Usai Insiden Laut China Selatan. Ketegangan di Laut China Selatan memanas lagi akhir pekan lalu, saat China resmi ajukan protes keras ke Australia atas dugaan pelanggaran ruang udara oleh pesawat pengintai Australia. Insiden mid-air ini terjadi pada 19 Oktober 2025, di mana jet tempur China melepaskan flares—sinyal peringatan—dekat pesawat P-8 Poseidon milik Angkatan Udara Australia. Australia balas dengan protes diplomatik, tuduh tindakan itu “tidak aman dan tidak profesional”. Kini, kedua negara saling tuding, picu kekhawatiran eskalasi di wilayah yang sudah jadi hotspot geopolitik. Laut China Selatan, yang diklaim China hampir seluruhnya, jadi arena bentrokan rutin sejak 2016—dengan perdagangan senilai 5 triliun dollar lewat rute itu tiap tahun. Di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi, insiden ini ingatkan betapa rapuhnya stabilitas kawasan, terutama saat Australia perkuat aliansi AUKUS dengan AS dan Inggris. Presiden China Xi Jinping sebut ini “provokasi berbahaya”, sementara PM Australia Anthony Albanese bilang, “Kami tak cari konflik, tapi lindungi kepentingan kami.” Bagi kedua belah pihak, ini bukan cuma soal udara; ia soal klaim maritim yang bisa picu perang dingin baru. REVIEW FILM
Insiden Mid-Air: Bentrokan yang Tak Terhindarkan
Semuanya bermula Sabtu pagi, 19 Oktober 2025, saat pesawat P-8 Poseidon Australia lakukan patroli rutin di atas Laut China Selatan, dekat Kepulauan Paracel yang diklaim China. Pesawat itu, yang dirancang deteksi kapal selam, terbang di ruang udara internasional—setidaknya menurut Australia. Tapi dari sisi China, itu intrusi ke zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) mereka yang luas. Jet J-11 China langsung dekati, lepas flares merah dekat sayap pesawat Australia—jarak cuma 50 meter, menurut pilot Australia. Flares itu, biasa dipakai peringatan, bisa ganggu sensor dan picu kecelakaan. Insiden ini terekam radar dan video, tapi kedua pihak saling tuding rekayasa. Australia bilang jet China lakukan “manuver agresif” yang langgar aturan keselamatan internasional seperti Code for Unplanned Encounters at Sea (CUES). China balas sebut pesawat Australia “sengaja provokasi” dengan terbang rendah dekat pulau buatan mereka di Paracel. Ini bukan pertama: sejak 2021, ada 20 insiden serupa, termasuk tabrakan kapal 2023 yang hampir picu konflik. Laut China Selatan, dengan 200 pulau kecil, jadi arena di mana China bangun basis militer senilai 10 miliar dollar, sementara Australia tingkatkan patroli untuk dukung kebebasan navigasi.
Protes China: Tuduhan Propaganda dan Pelanggaran
Beijing tak buang waktu—Senin pagi, Kementerian Luar Negeri China panggil duta besar Australia untuk “stern protest”, tuduh Canberra sebarkan “propaganda palsu” soal flares. Wakil Menteri Luar Negeri Ma Zhaoxu bilang, “Pesawat Australia intrusi ADIZ kami, ancam keamanan nasional—flares adalah peringatan standar.” China klaim Paracel milik mereka sejak 1974, dan patroli seperti ini langgar kedaulatan. Ini bagian strategi China: sejak 2016, mereka tingkatkan ADIZ untuk klaim 90 persen Laut China Selatan, tolak gugatan internasional 2016 yang bilang klaim itu tak berdasar. Protes ini juga diplomatik: China kurangi impor batu bara Australia 20 persen sejak 2020, meski hubungan membaik 2024 via kunjungan PM Albanese ke Beijing. Tapi insiden ini buka luka lama—Australia tuduh China “intimidasi” nelayan Filipina di Scarborough Shoal minggu lalu. Analis bilang, protes ini sinyal ke AS: jangan campur via AUKUS, yang beri Australia kapal selam nuklir 2023. Bagi China, ini soal wibawa—Xi Jinping tolak “hegemoni Barat” di pidato partai akhir September.
Respons Australia: Diplomasi Keras dan Aliansi Regional
Canberra balas cepat: Selasa, Menteri Luar Negeri Penny Wong panggil duta besar China, sebut tindakan jet itu “berbahaya dan tak bertanggung jawab”, langgar CUES yang disepakati 2014. Australia rilis video drone yang tunjukkan flares dekat pesawat—jarak 50 meter, cukup dekat untuk picu turbulensi. PM Albanese bilang di parlemen, “Kami tak cari konfrontasi, tapi tak biarkan intimidasi.” Ini langkah diplomatik: Australia tingkatkan patroli bersama Filipina dan Jepang via Quadrilateral Security Dialogue (Quad), yang latih 5.000 tentara di Laut China Selatan bulan lalu. Insiden ini juga domestik: oposisi Liberal puji respons keras, tapi kritik Albanese kurang tegas soal perdagangan—ekspor ke China 200 miliar dollar per tahun. Australia juga libatkan ASEAN: di forum ASEAN Oktober, Menteri Pertahanan Richard Marles tuntut China patuh hukum internasional. Respons ini tunjukkan pivot Australia: dari netral ke aliansi AS-led, dengan anggaran pertahanan naik 20 persen sejak 2023.
Kesimpulan
Protes China ke Australia pasca-insiden Laut China Selatan adalah pengingat bahwa wilayah ini tetap bubuk mesiu geopolitik, dengan kedua pihak saling tuding pelanggaran di atas klaim maritim yang rumit. Dari flares dekat pesawat hingga diplomasi keras, insiden 19 Oktober ini eskalasi kecil yang bisa picu yang besar—terutama saat AUKUS perkuat posisi Australia. Bagi kawasan, ini panggilan untuk dialog: ASEAN dorong kode etik 2026, tapi tanpa kemauan Beijing, ketegangan lanjut. Dunia pantau; satu kesalahan bisa ubah perdagangan triliunan jadi konflik panas. Prancis, AS, dan sekutu Australia harus dukung aturan internasional, sementara China perlu transparansi. Laut China Selatan bukan milik satu negara—ia milik semua, dan harmoni tergantung langkah selanjutnya.